30
Oktober 2006 (Yogyakarta)
Hari
masih pagi dan hari itu jadwal saya off di tempat kerja. Seperti biasa tempat
kumpul di saat off adalah Parangtritis, tempatnya Om Pit. Karena itu sejak
kemarin saya sudah di sana. Teman2 yang lain pun sudah di sana sejak hari sabtu
dan minggu. Dan kabar itu pun dating. Sekitar jam 9 pagi ada telepon dari rumah
yang mengatakan bapak sudah meninggal. Rasanya tidak percaya. Karena tidak
secanggih sekarang yang handphone mudah didapat, akses informasi sangatlah
gampang melalui media social, makanya saya memutuskan telepon ke rumah dari
sebuah warnet, dan memang betul adanya bapak sudah meninggal. langit seperti hampir
runtuh, dunia serasa gelap. Saya menangis sejadi-jadinya seorang diri di kamar.
Tak percaya Tuhan memberikan cobaan yang begitu berat. Jarak yang begitu jauh
tak mungkin dapat membuat saya cepat pulang ke kampung.
Dengan
segera saya menuju toko dan memohon kepada pimpinan untuk mengambil gaji saya
lebih awal. (biasanya gajian tanggal 1). Mendengar alasan saya pimpinan
mengabulkan permohonan saya dan memberikan gaji saya. Kalau tidak salah gaji
waktu itu Rp. 680.000. tanpa menunggu lama saya segera menuju tempat pemesanan
tiket pesawat Surabaya-Kupang. Jadwal yang tersedia tanggal 31 Oktober pukul
19.00. saya pun memesan tiket tersebut seharga Rp. 640.000. sekarang bagaimana
caranya saya bisa mendapat uang tambahan untuk makan dan biaya perjalanan. Beruntunglah
saya punya teman2 dan saudara yang membantu dengan iklas. Di tanah rantau
memang kita selalu merasa seperti saudara. Tanggal 30 Oktober 2006 kira2 jam
setengan 12 malam saya diantar Om Pit ke Terminal, selanjutnya menumpang bus
dari Yogyakarta ke Surabaya. Sepanjang perjalanan hatiku kacau balau. Berharap cepat
sampai di rumah dan bertemu keluarga terlebih bisa melihat bapak untuk yang
terakhir kalinya. Sekitar jam 3 subuh bus sampi di Solo dan saat itu saya
mencium bau obat (rumah sakit). Menurut keyakinan saya mungkin bapak tau saya
dalam perjalanan makanya beliau melihat saya. Saya Cuma bergumam dalam hati
bahwa sebelum mulai misa penguburan saya sudah berada di rumah.
31
Oktober (Surabaya)
Jam
7 pagi bus yang saya tumpangi memasuki terminal Bungurasih Surabaya. Terima kasih
Tuhan akhirnya bisa sampai di Surabaya. Dalam kebingungan saya hendak mencari
sarapan, datanglah seorang bapak dan bertanya dengan nada sopan “Mau ke mana
de?” “Ke bandara. Tapi mau sarapan dulu” kata saya. Dengan setia bapak yang
tadi menunggu saya sampai selesai sarapan. Melihat wajah saya yang dari tadi
terus murung, bapak tadi bertanya “tujuan kemana de, dan ada apa. Dari tadi
kelihatan murung aja” “Kupang. Ada kedukaan pak. Bapak saya meninggal” saya
menjawab dengan sopan. “pesawat nanti malam jam 7. Sekarang masih jam 9 pagi. Yakin
bisa menunggu selama itu di bandara” kata bapak itu lagi. “pasti bisa pak”. Segera
bapak tersebut menuntun saya ke sebuah taxi yang warnanya kuning pudar. Ternyata
dugaan saya salah, karena bukan bapak tersebut sopir taxinya. “ini ada
penumpang mau ke bandara. Orang tuanya meninggal” pesan bapak tersebut kepada
sopir dalam bahasa Jawa dengan logat Jawa Timur yang khas. Tanpa menunggu lama
kami pun segera menuju bandara. Sesampainya di bandara saya hendak mengambil
uang untuk membayar taxi tapi sopirnya langsung belok taxinya dan pergi. Saya jadi
heran mengapa orang yang baru saya kenal begitu saja membiarkan penumpangnya
turun tanpa menagih tariff taksinya. Mungkin dia lupa? Mungkin saja. Tapi di
sini saya merasakan pertolongan Tuhan. Dia menolong kita di waktu yang tidak
kita duga. Apalagi uang saya pas pasan. Waktu terasa begitu lambat. Tapi akhirnya
sampai juga waktu yang din anti. Jam 7 malam Batavia Air terbang dari Surabaya
menuju Kupang. Setelah penerbangan kurang lebih 3 jam akhirnya sampai di
Kupang.
31
Oktober 2006 (Kupang)
Setelah
pesawat mendarat di Bandara El tari Kupang, tanpa menunggu lama saya menuju
taxi service. Ternyata itu taxi terakhir di bandara yang membawa penumpang dan sudah ada penumpangnya.
Beruntung bagi saya karena penumpang di dalamnya menawarkan untuk berdua di
taxi dengan catatan dia lebih dulu yang diantar dan sebuah kebetulan karena
tujuan kami sama yaitu ke terminal bus Oebufu dan juga sama2 hendak menuju
Atambua. Lagi-lagi saya merasakan pertolongan Tuhan yang luar biasa. Sesampainya
di terminal bus tinggal 1 lagi dan akan segera berangkat. Tanpa menunggu lama
kami segera menuju bus yang sebentar lagi sudah bergerak meninggalkan kota
Kupang menuju Atambua.
1
November 2006 (Atambua)
Jam
4 subuh bus yang saya tumpangi memasuki Kota Atambua. Suasana kota masih sepi
karena belum ada aktifitas yang berarti. Saya meminta untuk diturunkan di
terminal bus, tapi saran dari sopir bagusnya di depan toko Gajah Mada saja,
biar bisa dapat trayek pertama mikrolet ke Betun jadi bisa lebih cepat sampai
di kampung. Dan benar saran sang sopir. Tanpa
menunggu lama datang trayek pertama mikrolet menuju Betun. Dengan pasti saya
masuk ke dalam mobil, tapi hati saya makin gundah gulana, membayangkan
bagaimana rasanya sampai di kampong, melihat orang banyak, tenda dan mendengar
tangisan duka dari keluarga. Sampai di Betun saya memilih menggunakan ojek untuk
terus ke kampong. sekitar jam 9 pagi saya sampai di muka rumah. Semua mata
tertuju padaku, dengan tatapan penuh luka dan duka. Tak dapat menahan jatuhnya
air mata saya berlari menuju rumah menangis sejadinya melihat tubuh bapak yang
kaku tak berdaya di dalam peti. Semua keluarga sontak memeluk saya sambil
menangis. Ina memeluk kaki saya sambil menangis di samping peti mati. Sebuah rasa
duka yang tak dapat digambarkan dengan kata-kata. Namun curahan air mata sedikit
melonggarkan rasa sesak di dada. Saya teringat bapak menelpon saya, Tanya posisi
di mana. Saya bilang di kost. Bapak bilang bapak lagi di tambak, lagi tunggu
air pasang untuk tambah air di tambak. Itu terkahir kali saya mendengar suara
bapak yang terkasih. Misa penguburan di mulai sekitar jam 11. Tangisan kami lebih
keras kala Yanri membacakan ungkapan dukacita. Selamat jalan bapak. Sampai
berjumpa di Yerusalem baru.
Kini
tak terasa 11 tahun telah berlalu. Kami hanya yakin dan percaya bahwa apa yang
Tuhan buat baik adanya. Dia yang yang berkuasa atas kehidupan dan kematian
kita. Kelahiran adalh bukan soal memilih tapi menerima, seperti itu juga
kematian. Terima saja dengan iman, karena Tuhan tidak pernah meninggalkan kita.
Rindu
kami selalu untuk bapak, walau hanya lewat doa dan pasang lilin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar